Selasa, 08 Agustus 2017

Bidadari-Bidadari Surga (Dea dan Hanum)


Hallo…

Maafkan jika lamaaa aku nggak menulis tentang Hanum. Banyak hal yang terjadi. Aku harus mengumpulkan kekuatan dulu (kekuatan?) untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Namun beberapa ringkasannya ada di status fbku. Tentang sedikit riwayat medis Hanum ada di What Happen with Hanum?


Setelah menjalani fisioterapi rutin, Alhamdulillah cukup baik progress Hanum. Makan jadi lebih banyak karena stimulasi oral, gerak motoriknya juga banyak kemajuan, sembelitnya berkurang drastis, head controlnya semakin baik, kejangnya pun teratasi selama 3 bulan terakhir. Besar harapan kami Hanum bisa bebas kejang dan bisa mandiri. Anak dengan CP setauku jarang yang bisa sempurna seperti anak normal, kecuali… tentu jika Allah Menghendaki J Apa sih yang nggak bisa, jika Allah Yang Maha Kuasa menghendaki? Tentang CP ada di sini, ya.

2 bulan menemani kami, akhirnya Ayah Hanum harus kembali bekerja. Tinggallah aku dan Hanum di Yogyakarta bersama teman-teman yang menjadi saudara. Alhamdulillah semua baik-baik aja saat itu, hingga tiba-tiba, tepat 10 hari setelah Ayah Hanum berangkat ke Bengkulu,  pukul  4 sore Hanum mengalami kejang disertai demam yang nggak terlalu tinggi. Iya, demamnya masih di bawah 38 dc. Aku berikan paracetamol, tapi masih tetap demam. Hanum lesu tapi masih mau minum sedikit-sedikit. Mungkin benar kata orang, anak perempuan biasanya dekat dengan ayahnya.

Aku ditemani mbak Yuni melarikan Hanum ke IGD RS Condong Catur. Ya nggak lari juga sih, kami naik motor. Udah nggak sabar kalo harus nunggu taksi datang. Di IGD RS Condong Catur, dokter jaga memberikan obat kejang via dubur. Kebetulan dr. Agung Triono, Sp.A yang biasa menangani Hanum sedang cuti saat itu. Akhirnya dokter jaga menyuruh kami pulang setelah melihat kondisi Hanum. Kami pulang malam pukul 22.00 WIB.

Aku memang nggak kuat terlalu lelah apalagi ditambah stress, kepalaku sering pusing dan berkunang-kunang (belakangan baru tau bahwa pusing-pusing dan sering berkunang-kunang yang sering aku rasakan sejak kecil disebabkan karena aku mengalami Anemia Defisiensi Besi, begitu kata Dokter. Kadar Ferritin di bawah batas normal). Sesampainya di rumah, aku langsung tidur, ditemani mbak Yuni. Sekitar pukul 02.00 WIB aku terbangun. Hanum masih tidur. Badannya masih anget. Lalu pukul 04.00, aku bangun lagi. Astagfirullah, Hanum tidur sambil kejang, badannya panas tinggi. Langsung saya ketok pintu kamar mbak Yuni lagi. Dan kami bawa Hanum kembali ke IGD RS Condong Catur. Di sana Hanum diberikan obat kejang via dubur lagi. Kejang berhenti. Dokter menyarankan rawat inap. Dalam beberapa jam, Hanum mengalami kejang berulang 5 kali, badannya masih demam, dan Hanum tidak sadar. Dokter harus merujuk Hanum ke RS yang lebih besar untuk dirawat di PICU. Tapi semua PICU di RS wilayah Yogyakarta penuh selain RS Hermina. Atas saran dari terapis Hanum, kami menunggu. Hingga akhirnya, Hanum dirujuk di RS Sardjito Yogyakarta. Di saat yang sama, Ayah Hanum sampai di RS.

sumber

Kami masuk ke IGD RS Sardjito Yogyakarta. Rasanya seperti membuka luka lama yang aku rasakan saat putri pertama kami, Dea Azmi Nadhira, dirawat di RS. Dokter memasang ventilator pada Hanum, sama seperti yang dialami Dea dulu. Lalu Hanum dirawat di PICU, ditangani oleh beberapa dokter PICU. Kurang lebih 2 minggu Hanum tidak sadar.  Kejang+demam+penurunan kesadaran adalah gejala khas radang otak (Ensefalitis). Hasil CT Scan memperkuat diagnosa itu. Kami hanya orang bodoh yang tak begitu paham masalah kesehatan, apalagi istilah-istilah medis. Kami browsing semua tentang ensefalitis dari web yang terpercaya. Meski bahasa Inggris kami kacau, setidaknya artikel-artikel itu sedikit bisa kami pahami. Masih ada harapan akan membaik, pikir kami saat itu. Ada 17 diagnosa yang ditulis oleh dokter di PICU. 1 diagnosa aja bikin pusing, nah ini 17 L Semuanya kami catat dan satu persatu kami cari tau artinya di internet. Mbah Google sangat membantu.

Dokter sempat merencanakan trakeostomi karena beberapa alasan. Tapi Subhanallah, tiba-tiba kondisi Hanum membaik dan trakeostomi dibatalkan. Alhamdulillah… Hanum turun ke bangsal Melati 1. Setelah 1 bulan dirawat di RS, kami pulang. Bahagia? Jelas. Tapi entah kenapa, melihat nafas Hanum sepertinya ada yang berbeda. Tapi, tetap positif thinking, seperti kata Phunsukh Wangdu dalam film 3 Idiot, All is well

Selama di rumah, kondisi Hanum mengkhawatirkan. Kami menyediakan tabung oksigen di rumah. 2 hari setelah pulang, jadwal Hanum kontrol di Poli anak RS Sardjito. Saat diperiksa, Hanum menangis dan mengalami apnea (henti nafas). Wajah, kaki, dan tangannya biru. Dan lagi, Hanum harus dirawat di PICU. Saat kedua kalinya masuk PICU, kami lebih banyak bertanya pada dokter residen karena kami jarang bertemu dengan dokter spesialis anak PICU.

Dugaan dokter, Hanum mengalami Breath Hoding Spell. Semua hal tentang Hanum kami tanyakan. Walau apapun yang terjadi, setidaknya aku tau kondisi Hanum dengan jelas. dr. Agung Danar R. dan dr. Dian Kesuma  P. yang saat itu banyak menjawab pertanyaan kami. Mereka menjelaskan sampai detail di setiap istilah yang tak kami mengerti. Hasil MRI 2x, hasil CT Scan, EEG, rontgen paru, hasil tes darah, dll semuanya dijelaskan dengan runtut. “Terima kasih banyak, Dokter…”

Selama 2 minggu di PICU kedua kalinya, kondisi Hanum masih sering apnea, sering biru, SPO2 pernah mencapai 2%. Nggak ada yang bisa kami lakukan selain memohon yang terbaik kepada Allah. Kami tak ingin mengatur Allah agar sesuai dengan kemauan kami, tapi sebaliknya, biarlah Allah Yang Maha Mengetahui yang memberikan keputusan.


Waktu cuti Ayah Hanum habis, aku harus menunggu Hanum bersama ibuku. Tapi ibuku juga tak bisa lama-lama menemaniku, karena di rumah beliau merawat mbah yang sudah manula (Simbah sudah wafat saat aku menulis ini, Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…). Kondisi Hanum membaik, frekuensi kejangnya berkurang. Lalu kami turun ke bangsal Melati 1 (lagi). DI bangsal, bertambah 1 lagi diagnosa dokter untuk Hanum, Laryngomalacia (maaf, tentang laryngomalacia ini aku juga belum sempat bertanya pada dokter dan belum menemukan artikel yang jelas). Setelah 2 minggu di bangsal, akhirnya dokter Spesialis anak (saat itu Hanum ditangani oleh Prof. DR.dr. ES. Herini, Sp.A(K)) mengizinkan kami pulang. Betapa lega rasanya saat itu. Huff…

Hanum dan Bu Nyoman

Baru 3 malam di rumah, pukul 5 pagi, Hanum mengalami kejang tanpa demam, lamaaa sekali nggak berhenti walau aku berikan obat kejang Stesolid (diazepam) sesuai petunjuk dokter. Akhirnya kami membawanya (lagi) ke IGD RS Sardjito. Setelah 2,5 jam kejang baru berhenti. Dan akhirnya Hanum harus dirawat inap (lagi dan lagi) di bangsal Melati 1. Berkali-kali Hanum dirawat, membuat perawat hafal nama Hanum. Alhamdulillah, perawat-perawatnya sangat baik, mereka banyak membantuku yang harus sendirian menunggu Hanum. Aku semakin yakin, Allah memberikan setiap ujian sepaket dengan berbagai kemudahan.
“Terima kasih ya Allah, terima kasih juga buat para perawat…”




Setelah 5 hari dirawat, Hanum diperbolehkan pulang. Di rumah, kondisi Hanum semakin baik. Stimulasi NS oleh terapis home visite membantu oralnya membaik. Hanum bisa makan bubur, Hanum bisa ketawa-ketawa lagi, tangan kakinya aktif lagi, ngoceh-ngoceh cantik, hingga sebulan kemudian… Hanum diare disertai demam dan kejang. Perlahan kesadarannya menurun. Badanku lemas. Entah keberapa kali Hanum kami larikan ke IGD RS Sardjito.

Ibuku kembali datang menemani. Kondisi Hanum membaik, diare stop, kejang stop, ia masih tersenyum sedikit-sedikit, hingga hari kamis, hari keempat Hanum dirawat, dadanya bergetar. Detak jantungnya sangat cepat. Aku bilang pada perawat, lalu dipanggilkan dokter. Shock jantung, kata dokter saat itu. Hanum dinyatakan kritis (ini ketiga kalinya). Aku melantunkan doa yang sama seperti yang aku ucapkan di PICU. Allah lebih tahu yang terbaik. Apapun itu, akan aku terima.

Ayah Hanum belum bisa pulang saat itu. Jadwal penerbangan paling cepat Jumat jam 3 sore. Beliau hanya bisa pasrah, menemani kami melalui video call. Terbayang saat-saat terakhir Dea di RS. Aku nggak sanggup melihatnya, aku hanya mampu menangis dalam pelukan ayahnya. Tapi saat-saat terakhir Hanum ayahnya jauh, dan aku harus kuat mengantarnya dalam pelukan, dalam dzikir.

Dokter sudah berusaha melakukan apa yang mereka bisa lakukan. Perawat sudah merawat sebaik yang mereka bisa. Allah begitu menyayangi Hanum. Tepat setelah Adzan sholat Jumat, aku merasakan  desahan nafas terakhirnya, tanpa ayah di sampingnya... Hanya bersama Bunda dan Utinya.

Innalillahi wa innailaihi roji'un...
Selamat berbahagia, putriku...
Bermainlah bersama mbak Dea dan anak-anak surga lainnya.
Bermainlah tanpa rasa sakit, Sayang…

Taukah, Kawan? Apapun kondisimu, Hidup ini indah. Aku berusaha bahagia hingga saat ini, walau hanya dengan bermain bersama keponakan, cucu, dan anak tetangga. Biarlah seperti ini dulu, sambil menunggu saatnya nanti, semoga Allah mempercayai kami untuk mendapat amanahNya. Saat ini kami masih bingung. Serasa menghadapi jalan buntu. Ingin rasanya melangkah jauh, tapi jalan itu belum terlihat. Tapi, bukankah Allah tidak menyukai orang yang berputus asa? Mungkin ini cara Allah melatih kami sabar. Mungkin ini cara Allah mengubah cara kami berpikir. Kami bukanlah orang  yang selalu kuat dan tegar bagai karang, kami hanya berusaha menerima setiap keputusanNya.


Anak-anakku...
Ayah dan Bunda selalu menyayangi kalian.
Tak mengapa jika sekarang kita belum bisa berkumpul di dunia. Semoga kelak, Allah mengumpulkan kita di surgaNya. Biarlah kami di dunia, berusaha memperbaiki diri dulu.

Sekarang mbak Dea pasti sudah besar, sudah hampir 5,5 tahun. Pasti cantik J
Adek Hanum juga sudah 2 tahun, pasti manis dan mirip sama mbak Dea. Bermainlah, sayang-sayangku… Ayah dan Bunda percaya, kalian bahagia, kalian tak lagi harus kesakitan merasakan jarum suntik, selang ngt, atau ventilator itu. Maafkan jika Bunda masih cengeng, Nak, Bunda hanya merindukan kalian…  Meski kita tak bersama, tapi kalian tetap ada dalam hati kami.


Berbahagialah putri-putriku…

Selasa, 09 Agustus 2016

The Future's Not Ours to See, Hanum


Dulu, aku sempat bersedih, putus asa, menangis sejadi-jadinya mengingat apa yang anak-anak kami alami. Berat memang, saat memandang jauh ke depan, tentang hidupnya kelak. Aku berpikir tentang dana, tentang rasa malu, tentang semuanya.

Tapi sekarang...

Kamis, 28 Juli 2016

Kisah Sedih (Tentang Hanum) di Hari Minggu


Lebaran adalah momen spesial untukku. Kalo hari-hari biasa, jarang bisa ngumpul sama keluarga, teman, dan sahabat. Tapi saat lebaran tiba, keluarga besar berkumpul, tetangga saling bersalaman, teman-teman lama reuni, murid-murid datang berkunjung (pengalaman saat menjadi guru). Lebaran tahun ini pun hampir sama dengan lebaran-lebaran sebelumnya. Tapi lebaran 2 tahun terakhir lebih spesial dengan hadirnya Hanum, walau tanpa kunjungan murid :(

Saat lebaran tiba, banyak yang memanfaatkannya untuk saling bersilaturrahmi dan maaf memaafkan. Aku pun demikian. Jadi, saat lebaran kemarin, kami sekeluarga mudik ke Pati (baru kali ini kami mudik lebaran, dulu paling dolan Pati-Jepara). Telfon travel rata-rata udah penuh. Tapi Alhamdulillah masih mendapat travel di H-2 lebaran.

Tiba-tiba…

Jumat, 01 Juli 2016

Medis, Pengobatan Alternatif, atau herbal?

Ulasan berikut ini versi aku, ya, jadi cuma sekadar sharing dari orang bodoh ini. Cmiiw.

Sebelum menikah, tiap kali sakit flu atau pusing, aku biarin aja sampe hilang sendiri sakitnya. Nggak suka minum obat-obatan. Kalo sakitnya kayak diare, aku makan pucuk daun jambu biji aja. Seringnya sih sembuh.  Tapi kalo udah maem pucuk daun jambu biji dan nggak sembuh, ya mau nggak mau minum obat dari bidan/dokter. Nggak enak juga kalo diare terus. Lemes.
sumber : http://www.alodokter.com/sehat-berkat-tahu-cara-membuat-minyak-kelapa-sendiri

Saat hamil anak pertama, disuruh minum minyak kelapa, aku minum aja sih. Kalo kata orang tua biar gampang saat melahirkan. Tapi kenyataannya beda, hehehe. Disuruh minum air rumput Fatimah, aku minum juga. Katanya sih biar nggak sakit pas bersalin. Tapi bukan melahirkan namanya kalo nggak ngerasain sakit. Aku tuh suka sayuran, tapi pas hamil sayuran rasanya jadi aneh, hahaha. Hamil kedua, tanpa minum minyak-minyakan, tanpa rumput Fatimah dan sebagainya. Alhamdulillah lancar persalinan kedua.

Anak Istimewa di Daerah Istimewa

Tepat seminggu yang lalu, kami mendarat di Jogja. Saat naik pesawat dari Bengkulu ke Jakarta, penumpangnya banyak yang berbahasa Sumatra. Naik pesawat kedua dari Jakarta ke Yogyakarta, rata-rata memakai bahasa Jawa. Jadi kerasa banget Bhinneka Tunggal Ikanya, hihihi. Walau udah beberapa kali naik pesawat, tetep aja kalo take off dan landing terasa mual. Katrok banget, yo? Hahaha… eh sempet foto-foto juga saat di Bandara. *abaikan bundanya Hanum yang 'ndut ya, anggep aja langsing gitu, hahahaha.



Kami berangkat ke Jogja emang modal nekad. Sama sekali nggak ada saudara. Dengan pertolongan orang-orang yang baik hati, akhirnya kami sampai di sini. Siapa aja orangnya?