Memiliki anak adalah dambaan hampir setiap pasangan yang menikah,
benar? Akupun sama dong. Melihat teman seusia yang menggendong anak itu rasanya
seneng banget. Apalagi kalo anaknya udah belajar berjalan gitu, pake
sepatu yang ‘ncit ‘ncit, hahaha… lucu
banget. Di usia 5 bulan pernikahan, aku telat datang bulan. Setelah aku cek pake testpack, 2 garis. Alhamdulillah positif hamil. Langsung bayangin kalo nanti perutku gedhe.Hahaha...
Namanya orang hamil, wajar kan kalo mengalami Morning
sickness. Mual muntah, eneg. Bau nasi yang biasanya bikin laper, jadi bikin
muntah. Huekkk! Tapi itu hanya terjadi pada trimester pertama. Setelah usia
kehamilan 4 bulan, mulai doyan makan. Sekali lagi doyan, ya, bukan rakus.
9 bulan kemudian, si dedek lahir. Gendut, tembem, BBnya aja
3,5 kg. Alhamdulillah normal juga lahirnya, walau habis itu emaknya harus bobok
di RS karena pendarahan hingga HB Cuma 6. Pingsan di kamar mandi, langsung
dilarikan ke RS. Ya nggak lari juga sih, naik mobil kok. Pisah sementara deh,
hikz. Setelah 5 hari berpisah, akhirnya bisa juga gendong si cantik. Kami
memberikan nama untuknya, Dea Azmi Nadhira.
Semua baik-baik aja setelah Dea lahir. Tapi saat usianya 1 bulan, aku seperti melihat gerakan aneh pada Dea. Kaki tangannya bergerak-gerak ke atas terkaget-kaget selama sekitar 20 detik. Tapi saat itu, kami masih bodoh. Kami pikir itu gerakan bayi biasa. Hingga saat usia Dea 4 bulan, dia masih seperti bayi. Saat teman-teman seusianya tengkurap dan duduk, dia tetap masih tidur telentang. Hanya sesekali mengoceh.
Melihat hal yang aneh, kami khawatir dong ya. Akhirnya kami
menyimpulkan gerakan aneh itu adalah kejang. Kami pun menemui dokter spesialis.
Diberikan obat antikejang, tapi tanpa penjelasan apapun. Kami yang bodoh jadi
nggak nambah pinter. Sampai usia 5 bulan, 6 bulan, belum juga ada perkembangan.
Aku memutuskan untuk cuti dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Aku tinggal
bersama orang tuaku.
Usia Dea terus bertambah, tapi kok kemampuannya masih seperti bayi? Kami pindah dokter di Kudus. Dokter menyarankan CT Scan otak. Hasil CT Scan otak menunjukkan ada delay selaput syaraf. Dokter hanya meresepkan obat untuk otak Dea. Setiap 2 minggu kontrol. Kami nggak tega membawa Dea bersepeda motor lintas kabupaten Pati-kudus dengan keadaannya yang seperti itu. Cuaca juga panas banget. Jadi setiap kali kontrol kami menyewa mobil. Bersyukur kami masih tinggal dengan orang tua, karena honor Ayahnya Dea terserap untuk pengobatan Dea.
Semua saran aku lakukan. Mulai dari medis, pijat ke sana
kemari, minum ramuan ini itu. Ke dokter ini, dokter itu, ke bidan, memupukkan
kemangi ke punggung, pake dukun jadul yang memakai sarang rayap, ramuan macem-macem.
Hasilnya nihil. Hingga saat usia Dea sekitar 8,5 bulan, dokter menyarankan tes
TORCH. Apa itu TORCH? Bisa dibaca di sini
Kami menabung, karena honor (berat menyebutnya ‘gaji’) suami
yang pas-pasan. Biaya tes TORCH cukup mahal untuk kami saat itu. Maka ikhtiar
kami terhenti. Saat usia Dea 9,5 bulan, tiba-tiba wajahnya pucat, aneh. Aku
khawatir banget dong. Apalagi Dea yang biasanya menangis hampir sepanjang
malam, malam itu diam, lesu. Sambil lari aku membawanya ke bidan terdekat,
samping rumah, bulekku. Kata beliau, Dea biru, kekurangan oksigen dan harus
dibawa ke RS.
Kami menyewa mobil untuk sekian kalinya. Kami membawa Dea ke
RS Mardirahayu Kudus. Saat masuk UGD, perawat bilang Dea butuh ventilator anak,
sedangkan di RS Mardirahayu ventilator kepake semua. Dea dirujuk ke RS Elisabeth
Semarang. 10 hari dirawat di PICU RS Elisabeth Semarang, Dokter mengatakan
bahwa Dea gagal nafas. Jadi syaraf pernafasan di otaknya nggak mau ngasih perintah paru-paru untuk bernafas.
Dokter bilang kemungkinan memang karena TORCH. Ah, lagi-lagi TORCH. Akhirnya,
Dea kembali pada-Nya. Kami akan sangat merindukanmu, Nak.
Dokter yang menangani Dea berpesan, jika ingin program hamil
usahakan tes TORCH dulu. Kami selalu mengingat pesan itu. Kami nggak mau anak
kedua nantinya juga terinfeksi jika memang ada TORCH dalam tubuh kami.
1,5 tahun berlalu. Kami mau promil lagi. Kami menemui dokter
kandungan dan menceritakan semuanya dari awal. Dokter memberi rujukan untuk tes
TORCH di Lab Prodia Jepara. Jadi TORCH itu jenisnya ada 4 kan, masing-masing
ada IgG dan IgM. Dokter hanya menyarakan tes Toksoplasma dan CMV aja. Setiap
item tahun 2014 itu biayanya Rp 240.000. Bisa dihitung sendiri total biayanya.
2 hari kemudian hasilnya keluar, IgG CMV positif 63. Hancur
hatiku saat itu, menjadi keping-keping… lebay! Dokter menyarankan aku menjalani
pengobatan CMV dulu selama 3 bulan. Jadi 3 bulan itu aku konsumsi obat 3
jenis, Acyclovir, Spyramicin, dan
Isoprinosine. 3 bulan pun berlalu. Kami program lagi kehamilan.
Setelah anak kedua lahir, ternyata hal yang hampir sama
terjadi lagi.
Belakangan kami baru tau, kalau CMV itu bisa seperti bola
pingpong. Menginfeksi istri, diobati, lari ke suami, balik lagi ke istri, dan
seterusnya, hikz. Entah dari mana virus itu berasal. Kata dokter, bisa saja
karena makanan setengah matang (sate, telur setengah matang dll), atau sayur,
buah, lalapan yang kurang bersih mencucinya. Bisa juga karena kotoran ternak
seperti ayam, kucing, bebek dan yang lainnya. Dan entah penyebabnya atau bukan,
suami saat masih kecil memelihara banyak kucing, sering digendong,
dipeluk-peluk. Allahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar